Cari Blog Ini

Laman

Minggu, 19 September 2010

RESENSI BUKU

\ Judul Buku : Mereka Bilang
Saya
Monyong
Penulis : Tria Ayu K
Penerbit : Gradien
Mediatama,
Yogyakarta,
2009
Tebal : 200 halaman

Mereka Bilang Saya Monyong bukanlah plesetan karya Djenar Maesa Ayu yang telah ada filmnya itu, ceritanya jauh berbeda. Meskipun mengangkat potret seorang vampir, novel ini bukan pula parodi Twilight yang masih bergaung-gaung sampai sekarang.
Ini kisah tentang Edwin, seorang yang merasa minder karena tonggos semasa hidupnya. Setiap akan bertemu seorang wanita di sekolahnya ia selalu tertunduk malu, dan tidak menyapa, mereka menganggap Edwin sombong karena tidak mau menyapa. Ringkas cerita, Edwin berlari ke sebuah hutan, dan disana Edwin digigit oleh seorang vampir wanita, dan akhirnya Edwin pun menjadi seorang vampir. Sebagai vampir baru yang menderita minder dan serba salah, mangap dibilang tonggos, mingkem dibilang monyong. Alih-alih takut, para calon mangsanya justru geli melihat taringnya yang terlalu maju untuk ukuran vampir yang bukan pelawak. Bersama keluarga barunya, para vampir dengan masa lalu yang sangat dramatis, Edwin mendalami dunia pervampiran. Akhirnya Edwin meraih cinta wanita yang akan menjadi pasangan abadinya.
Tempelan Novel Gokil di sampul muka bisa menerbitkan bahwa penulis akan berjuang mengocok perut, menggelitik, dan mendorong kita untuk tertawa. Tetapi aroma remaja yang biasanya di tebarkan oleh buku-buku sejenis pun tidak kental benar. Misalnya penulis menggunakan “saya” bukan “aku” apalagi “gue”. Urusan romansa tidak jadi menu utama. Kemudian pemilihan nama karakter mencirikan orang Indonesia, seperi seorang wanita yang bernama Trinil.
Keberadaan karya fiksi satu ini mengukuhkan pendapat saya bahwa menulis sesuatu yang lucu dalam arti lucu di mata semua orang, tanpa peduli kalangan dan usia sungguh sukar. Juga dalam format parodi. Yang terpancar dari membaca buku ini adalah keseriusan penulis akan riset bahasa dan sejarah.
Omesh berlagak gak peduli. Dia sibuk membaca buku gokil yang sedang ngetrend di Indonesia. “wakakak…begitukah cara menuliskan suara ketawa dalam bahasa Indonesia? Apa bedanya dengan ‘hehehe’?..
Tiap hari dia dihujani pertanyaan yang menurut saya gak penting, seperi asal mula kata ‘gubrak’ atau kenapa novel lucu yang dibaca tidak membuat omesh tertawa. (hal.94)
Secara implisit, penulis menyampaikan agar pembaca tidak meletakkan ekspektasi tinggi berupa ketawa mengguling-guling sampai mengompol. Penulis lebih sibuk menghadirkan karakter yang tidak jamak. Dibandingkan berusaha melucu. Tentu saja, tidak lucu bukan berarti tidak menghibur.
“…kami singgah di sini karena dia ingin melihat dari dekat patung Daendels dan Pangeran Kornel Wirakusumah. Papa Calmet tertarik dengan fakta bahwa Pangeran Kornel menyalami Daendels dengan tangan kiri. Menurutnya itu adalah simbol, merupakan sikap menentang dan tidak respeknya Pangeran Kornel pada si Daendels. Tapi Daendels enggak ngeh…”(hal.95)
Secara tersirat menjadikan pembaca penasaran untuk berjalan-jalan ke Cadas Pangeran, Sumedang. Setiapa bagian cerita ke bagian cerita yang lain membuat penasaran dan pembaca ingin cepat menyelesaikan membaca novel ini dan mengetahui akhir cerita. Selain itu banyak hal-hal lucu yang diceritakan dalam novel ini. Nilai plus lain, penyuntingannya tergolong cermat dan tertata dibandingkan buku-buku sejenis yang sama.
Novel ini patut untuk dibaca dan dimiliki, karena isi cerita dari novel ini menceritakan kisah cinta dan kekeluargaan, dan akhir dari cerita novel ini membuat seseorang dapat saling menghargai dan tidak minder karena memiliki sebuah kekurangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar